Jombang, Jurnal Jatim – Tidak banyak yang tahu kisah cinta Mundjidah Wahab dengan suaminya Imam Asy’ari, santri kesayangan KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang yang abadi hingga kini.
Mundjidah merupakan anak ketiga dari lima orang bersaudara buah hati dari salah satu pendiri NU Kiai Wahab Chasbullah dan Nyai Sya’diyah.
Sedang Imam Asy’ari merupakan putra Kiai Muhsin asal Blitar sekaligus mantan lurah pondok pesantren Tebuireng Jombang. Ia juga menimba ilmu di pondok pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah, yang diasuh oleh KH Maimoen Zuber.
Mundjidah dan Imam Asy’ari awalnya tidak saling mengenal. Mundjidah justru kenal lebih dulu dengan adik dari Imam Asy’ari, karema pada satu organisasi yang dinaungi Nahdatul Ulama (NU). Mundjidah menjadi ketua IPPNU Jombang, sedangkan calon adik iparnya menjadi ketua IPPNU Blitar.
Singkat cerita keduanya akhirnya dijodohkan oleh masing-masing orang tuanya. Hingga melalui perjodohan itu, keduanya menikah 22 Juli 1968.
“Awalnya ya tidak kenal, kami dijodohkan. Pikiran kami waktu itu ya birrul walidain, manut dengan apa yang diminta orang tua,” kata Mundjidah, ditemui di kediamannya di pesantren Bahrul Ulum, Senin (25/11/2024).
“Waktu itu yakin bahwa pilihan orang tua adalah jodoh yang dipilihkan oleh Allah SWT,” lanjut Bupati Jombang 2018-2023 ini.
Berangkat dari latar belakang yang sama, Mundjidah dan Imam Asy’ari menjalani hari-hari sebagai suami istri dengan bahagia, hingga perkawinannya dikarunia 6 orang anak putra-putri.
Selama menjalani kehidupan rumah tangga bersama Imam Asy’ari, Mundjidah mengaku mendapatkan perlakuan istimewa dari sang suami. Mundjidah diberi kebebasan untuk menjalankan aktivitas di luar rumah, termasuk berorganisasi.
Dalam hal mengurus keluarga, keduanya berbagi peran secara adil tanpa mengabaikan kewajiban masing-masing.
Berkat keleluasaan yang diberikan sang suami, Mundjidah bisa tetap menjalankan aktivitas berorganisasi, serta melanjutkan studi hingga menyelesaikan sarjana muda.
“Suami mengizinkan saya untuk berkiprah dalam dunia politik, dari mulai menjadi anggota DPRD Jombang sejak tahun 1971, pengurus Partai NU, hingga pengurus PPP,” ujarnya.
Hingga pada 31 Agustus 1996 pagi, duka menghampiri keluarga besar Mundjidah. Imam Asy’ari meninggal dunia.
Hal itu menjadi pukulan telak bagi Mundjidah. Tanpa ada kata-kata yang keluar, saat mengetahui jika suaminya telah tiada. Hanya cucuran air mata yang deras mengalir.
Namun, ditinggal suami tidak menjadikan Mundjidah larut dalam kesedihan. Jiwanya kembali tegar. Tekadnya menguat demi masa depan anak-anaknya.
Setelah Imam Asy’ari Wafat, Mundjidah memegang peran ganda, sebagai ibu sekaligus kepala rumah tangga. Dia tak terfikir untuk menikah lagi, meski saat itu, usianya masih terbilang cukup.
“Tidak ada pikiran seperti itu (menikah lagi). Waktu itu sudah sibuk ngurusi organisasi, menjadi dewan (DPRD Provinsi Jatim) dan ngurusi anak-anak. Jadi ya gak ada pikiran semacam itu. Alhamdulillah, tetap setia kepada ayahnya anak-anak,” tandasnya.
Dapatkan update berita menarik hanya di Jurnaljatim.com, Jangan lupa follow jurnaljatim.com di google news instagram serta twitter Jurnaljatim.com.