Surabaya, Jurnal Jatim – Indonesia, Negeri beragama yang tersohor di seluruh Dunia. Berbagai macam agama dianut masyarakat Indonesia sesuai kepercayaan masing masing. Namun, agama yang paling dominan dianut seantero Indonesia adalah agama Islam.
Tidak lepas dari ulur tangan para ulama’, Islam terlahir di tengah masyarakat Indonesia dengan tanpa merusak adat istiadat yang telah berkembang.
Ulama’ berhasil menyusupkan ilmu agama Islam kepada masyarakat, hingga agama dan adat istiadat saling terkait erat sampai kini.
Seiring perkembangan agama Islam, para ulama’ semakin berinovasi dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran agama, salah satunya dengan mendirikan pondok pesantren.
Pondok pesantren dijadikan wadah bagi masyarakat khususnya para remaja, untuk memperdalam ilmu tentang Islam. Pondok pesantren tidak hanya memperhatikan kuantitas ilmu saja, namun juga kualitas dari anak didik (santri).
Dalam kesehariannya, santri akan dibiasakan dengan kegiatan-kegiatan yang menunjang pengetahuannya dan menumbuhkan karakter yang berakhlak.
Seiring berkembangnya zaman, pesantren dihadapkan dengan tantangan yang tak ringan. Era milenial yang kini berkembang tak bisa dipungkiri adanya. Zaman yang serba mudah dan cepat dapat dengan mudah membuat terlena pada teknologi.
Hal ini merupakan ujian tersendiri bagi pesantren dalam mempertahankan budaya dan tradisinya. Tentunya, perkembangan IT ini memiliki dampak positif dan juga negatif tergantung dalam penggunaannya.
Dampak negatif IT terjadi akibat penyalahgunaannya, namun dilain sisi IT dapat menjadi sumber informasi dan sarana komunikasi yang cukup efektif untuk digunakan.
Santri tidak dapat dijauhkan dengan perkembangan ini, tapi justru santri juga harus ‘melek’ terhadap teknologi yang tentunya harus dengan bimbingan dan pengawasan khusus.
Dalam konteks pesantren, telah diketahui berbagai ragam jenis pesantren, salah satunya adalah pondok pesantren salaf.
Pondok pesantren salaf dikenal sebagai pesantren dengan metode pendidikan klasikalnya, pendidikan dengan kajian kitab kuningnya. Bisa diartikan bahwa keseharian di pesantren ini jauh dari apa yang mengandung teknologi modern.
Sesuatu yang nampaknya bertentangan dengan perkembangan zaman sekarang. Namun realitanya, peminat dari kalangan remaja terhadap pesantren-pesantren salaf makin hari bukan kian berkurang, tetapi pesantren salaf makin eksis dan terus berkembang.
Pergeseran budaya pondok pesantren salaf yang terjadi di era sekarang ini tentu saja ada, namun tidak menyurutkan semangat para ulama’ dan guru dalam berinovasi dan dekat pada teknologi.
Berbagai macam upaya dilakukan agar eksistensi budaya pesantren tetap melekat pada karakter setiap santri. Pendalaman kitab kuning yang menjadi ciri khas pondok pesantren, tentu tidak bisa dihilangkan dalam proses belajar mengajar.
Namun, santri juga tidak boleh buta teknologi yang akan menyebabkan ketertinggalan informasi di era yang semakin berkembang ini.
Sampai sekarang, istiqomah dalam mengaji terus diupayakan oleh pondok salaf, karena memang kemajuan bagi pondok salaf itu mengaji kitab dan juga mati dan hidupnya pondok modern itu masih ada kaitannya dengan pondok salaf.
Namun bukan berarti para santri tidak mengembangkan kreatifitas dan juga berinovasi dalam pembelajarannya. Santri dikenal dengan ciri khasnya yang suka khidmah (mengabdikan diri) tidak terbatas ruang dan waktu. Karena itu pondok pesantren menyediakan fasilitas demi terus berkembangnya kreatifitas santri dalam belajar.
Media digital yang kini menjadi media baru yang memberikan alternatif bagi pembuat konten untuk menyebarkan informasi secara cepat, efektif, luas dan tidak terbatas. Santri harus bisa memahami peta media baru yang tengah ramai digunakan banyak orang untuk unjuk kreativitas.
Sebagai santri millenial harus memahami pola media baru yang ada dan langsung mengambil peran, tidak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga membuat informasi atau konten-konten yang syarat akan ilmu pengetahuan, ilmu hikmah dan ilmu ilmu lain yang bermanfaat.
Di zaman yang serba ada dan canggih ini, dapat dijadikan sarana santri untuk berkhidmah dalam media digital. Kini, pengembangan imu-ilmu kepesantrenan tidak hanya bisa dinikmati santri yang ada di pondok saja, tetapi bisa tersebar keberbagai penjuru melalui media digital. Hal ini turut mendukung adanya konten-konten yang berwawasan dan lebih bermanfaat.
Melalui video ataupun artikel ngaji kepesantrenan yang dikemas secara menarik, dapat membangkitkan semangat para penikmat dunia kepesantrenan sekaligus sebagai syiar dakwah yang dapat diakses dengan mudah.
Para ulama’, guru maupun santri di tengah tantangan zaman seperti ini, harus mampu menciptakan hal baru dan semakin berinovasi dalam menyebarkan ilmu kepesantrenan, agar bisa mengimbangi perkembangan zaman. (*)
**Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta