Jombang, Jurnal Jatim – Kisah mesterius tidak ada habisnya. Ada saja, menjadi cerita turun temurun sampai anak cucu. Demikian halnya di kota santri Jombang, Jawa Timur, selain terkenal sisi religius keagamaan, turut bergema cerita mistis di luar nalar logika.
Kali ini cerita mistis datang dari Desa tempat tinggal dukun cilik Ponari. Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang.
Ada satu sumur tua yang dianggap mistis oleh warga. Lokasinya kurang lebih berada di tengah, sekitar 50 meter sebelum masuk ke Dusun Ponari tinggal. Sebelah kanan jalan utama lintas Megaluh-Perak. Gak begitu susah untuk menemukan sumur tua itu.
Kemis (77) warga desa setempat menuturkan, dahulu Dusun Kedungsari gersang. Sulit mendapat air, walau hanya sekedar untuk minum. Bentangan pebukitan tanah hitam gugusan Gunung Tunggorono, kakek Kemis menyebutnya “Lemah Duwur”, menjadi satu dari terbatasnya air. Untuk mendapatkan air, puluhan meter tanah harus digali, itu susah kala alat yang dimiliki masih ala kadarnya.
“Semua orang warga Kedungsari mandi dan untuk minum di sumur tua itu,” kata Kemis yang dilahirkan di kampung Ponari kala banyak masyarakat masih memakai pakaian dari bago (karung dari rajutan benang kulit kayu), Sabtu malam, (16/7/2022).
Mbah Kemis mengisahkan kejadian itu waktu dirinya masih kecil. Bahkan kepindahan dia di Desa Balongsari sebelah utara dari Dusun Kedungsari salah satunya karena arahan dari orang tua agar dekat sumber air, “nyedak banyu, nyedak panguripan,” istilahnya.
“Sumur dari tanah biasa tidak pernah surut airnya, tempatnya lebih rendah dari Kedungsari, orang-orang menyebutnya ‘Sumur Pengusenan‘,” ujarnya.
Entah asal muasal adanya sumur itu, siapa yang buat, kapan dibuatnya. Pernah suatu ketika Kemis muda bersama rekan-rekannya dikejutkan dengan keberadaan orang pada malam tengah hari.
Tidak biasa dan bukan hanya satu orang, tapi beberapa orang. Kadang tiga, terkadang lebih dari itu, bukan orang dekat, tapi datang dari luar Desa. Mereka persis berada di antara sumur itu, seperti orang ritual. Satu tampah berisi gunungan nasi, beserta daging ayam panggang disajikan.
Sontak Kemis bersama rekan-rekannya pun terpanggil untuk datang, untuk mengetahui yang dilakukan oleh orang-orang misterius itu. Di sana, Kemis bersama rekan-rekannya dipersilahkan bergabung karena ada semacam ritual syukuran.
“Setiap malam Jumat Legi, kami siaga malam dan kadang ikut gabung ikut makan hidangan Ayam panggang itu,” ceritanya.
Kemis juga menceritakan, pernah juga suatu ketika, almarhum Samin yang sering ke sumur dan melekan (begadang) mendengar suara gaib. “Enek duit nang nisor kasur-mu,” bisik suara tak tampak orang, tapi persis dari sekitar sumur.
Seketika itu bergegas Kemis diajak Samin ke rumah, dan dilihat, ternyata ada tumpukan uang 100 rupiah kertas. Kalau dihitung-hitung sekitar 9.000 rupiah di bawah kasur tempat tidur.
Seketika itu memang kaget, karena ragu keduanya enggan untuk mengambil uang itu. Keesokan harinya melekan lagi, ada bisikan berulang. “Kalau mau nambah uang, minta darah ayam jago,” bisik suara dari sekitar sumur pengasihan.
Sontak Kemis dan rekannya enggan untuk menanggapi. Ada anggapan jikalau bisikan itu minta darah ayam, pertanda minta sesembahan nyawa manusia. “Usai kejadian itu, kami tak berani lagi, nyawa jadi taruhan,” ujarnya.
Mbah Kemis kini tinggal di Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang. Meskipun dulu menghabiskan waktu anak-anak sampai remaja di Dusun Kedungsari. Dusun yang sempat jadi perhatian khalayak ramai saat Si ‘Dukun Cilik’ Ponari menjadi dukun dadakan karena pengobatan menggunakan batu.
Senada dituturkan Darminto (55) warga Desa Balongsari. Ketika ia masih setingkat Sekolah Dasar (SD) pernah menyaksikan langsung sumur Pengusenan jadi tempat utama warga dari dusun Ponari mengambil air.
Bahkan untuk menjaga, warga setempat membuat semacam kepunden, dan hampir tiap penanggalan penting ada semacam ritual untuk syukuran. Terkhusus ketika kegiatan Sedekah Desa, ada semacam tempat persembahan untuk meletakkan aneka makanan, warga menyebutnya ‘Judang‘.
Di atas Judang terdapat sesajen makanan lengkap dengan seekor kambing utuh yang sudah dimasak. Sesembahan itu disediakan oleh masing-masing kepala Dusun, termasuk Dusun Kedungsari.
“Judang, tempat meletakkan makanan untuk acara syukuran, Judang diarak dari masing-masing dusun,” jelas Darminto sembari mengingat kembali keragaman tradisi kala itu.
Tidak hanya itu, dulu lokasi dekat sumur terdapat banyak gundukan-gundukan tanah, warga menyebutnya ‘putuk‘. Lokasinya dekat sumur rumpuk (rindang), jalan menuju tempat keras ketika musim kemarau, tapi berlumpur dalam ketika musim hujan. Selain dilewati pejalan kaki, jalan lintasan ke sumur juga jadi jalan ternak kerbau.
“Banyak putuk, tanah gak bisa dijadikan sawah, kerbau juga lewat jalan itu,” kata pria yang akrab disapa Cak Har ini menuturkan.
Kini tempat itu sudah tidak sesakral dulu lagi. Putuk sudah hilang dan kesakralan Sumur Pengusenan pun entah masih ada atau tidak. “Infonya, sumur itu masih ada tapi sudah tidak dipakai lagi,” pungkasnya.
Dapatkan update berita menarik hanya di Jurnaljatim.com, jangan lupa follow jurnaljatim.com di google news instagram serta twitter Jurnaljatim.com.