SURABAYA (Jurnalatim.com) – Hakim Pengadilan Tindak Korupsi (Tipikor) Surabaya memerintahkan jaksa agar memanggil paksa dua pejabat PT Dok dan Perkapalan Surabaya (PT DPS). Sebab, dua pejabat tersebut mangkir beberapa kali sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal floating crane senilai Rp 63 miliar itu.
Kedua pejabat PT DPS tersebut adalah Direktur Utama (Dirut) Bambang dan Direktur Keuangan (Dirkeu) PT Dok dan Perkapalan Surabaya, Faisal. Kedua saksi tersebut tidak diketahui tidak datang sebagai saksi, meski telah berkali-kali dipanggil oleh jaksa.
Peranan kedua pejabat PT DPS tersebut dianggap penting, setelah terpidana Direktur Utama A&C Trading Network Antonius Aris Saputra, memberikan kesaksian di persidangan terdakwa Riry Syeried Jetta, mantan Direktur Utama (Dirut) PT DPS pada Kamis (29/8/2019).
Sehingga pada saat rencana agenda saksi meringankan, Samuel Benyamin Kuasa Hukum terdakwa memohon kepada majelis hakim agar tetap kembali memanggil mereka dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan.
“Kita mohon pada hakim agar jaksa tetap memanggil kedua saksi tersebut, karena keterangan mereka kami anggap cukup penting,” ujar Samuel.
Untuk itu, maka majelis hakim akhirnya memenuhi permintaan pengacara terdakwa, dan menyatakan menghadirkan saksi Dirut PT DPS Bambang dan Dirkeu, Faisal, itu dengan cara jemput paksa, lantaran keterangan mereka dapat menentukan kerugian negara yang sebenarnya.
Sementara itu dalam keterangannya sebagai saksi mahkota, Direktur Utama A&C Trading Network Antonius Aris Saputra, mengatakan,
dengan tidak dilakukan perpanjangan jaminan uang muka, telah mengakibatkan hangusnya jaminan tersebut.
“Padahal, harusnya itu tidak terjadi apabila manajemen PT DPS melakukan perpanjangan jaminan tersebut,” kata Aris dalam persidangan.
Ketua Majelis Hakim Dede Suryaman pun sempat mengakui jika hal itu adalah kerugian negara seharusnya menjadi tanggungjawab manajemen PT DPS yang tidak melakukan perpanjangan jaminan tersebut.
Terpisah, Siswo Sujanto, Ahli Keuangan Negara dan Daerah Universitas Patria Artha Makasar yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum justru membenarkan upaya tindakan yang dilakukan terdakwa. Sebab, dalam keadaan PT DPS yang sudah kritis, demi menyelamatkan perusahaan dengan cara korporasi bisa ada diskresi.
Lain halnya dengan kesaksian mantan Dirut PT DPS, Imam. Ia menyatakan, bahwa saat dia mulai menjabat Dirut, Tim menunjukan semua dokumen pengadaan FD dan juga Tim memberitahu soal SK pengadaan yang ternyata bukan tandatangan terdakwa Riry.
Adanya SK yang bukan tandatangan Riry dalam persidangan sebelumnya, saksi Rosa, Direktur Operasi PT DPS mengatakan bahwa SK tersebut dibuat atas permintaan saksi Ina.
Sementara itu, dalam kesaksian Direktur PT DPS lainnya, Wayan menyatakan bahwa Dirut dalam rapat terbuka dengan seluruh jajaran senior manajemen saat itu meminta agar siapapun yang memiliki info tentang floating dock yang sesuai dan mau dijual agar ditindaklanjuti dengan tim. Keterangan tersebut berbeda dengan yang diberikan Saksi Ina yang seolah terdakwa Riry sudah mengarahkan pada satu barang.
Sebelumnya, perkara itu bermula ketika pada 2015, PT DPS mendapat Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp200 miliar. Dari jumlah itu, Rp 100 miliar diantaranya digunakan untuk membeli kapal floating crane. Rekanan dalam pengadaan kapal ini adalah PT A&C Trading Network. Meski alokasi anggarannya sebesar Rp100 miliar, namun harga kapal sendiri dibeli seharga Rp 63 miliar.
Kapal floating crane yang diibeli, berasal dari Rusia. Sayangnya, kapal tersebut bukan kapal baru. Melainkan kapal bekas buatan tahun 1973. Ketika kapal itu dibawa ke Indonesia, ternyata tenggelam di laut China. Dengan begitu, negara tidak mendapat kemanfaatan dari pembelian kapal tersebut.
Perkara tersebut juga menyeret mantan Direktur Utama PT DPS, Riry Syeried Jetta sebagai terdakwa. Direktur Utama A&C Trading Network Antonius Aris Saputra juga sudah divonis 16 tahun penjara oleh majelis hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. (Yoh)
Editor: Z. Arifin