Jombang, Jurnal Jatim – Ratusan hektar sawah ditanami padi di sebagian wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, terancam gagal panen pada musim ini.
Ancaman itu disebabkan lantaran cuaca yang panas terik membuat sawah kekeringan. Itu diperparah tidak ada pasokan air ke lahan pertanian selama hampir satu bulan ini.
Kondisi itu terjadi di wilayah Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dari data yang diperoleh, luasan lahan pertanian di wilayah itu mencapai luasan 350 hektar.
Ratusan hektar sawah yang ditanami padi itu masing-masing berada di Desa Bugasur Kedaleman, Pucangro, Sukoiber, Kedungturi, Sukopinggir, serta Desa Gudo.
Rata-rata tanaman padi berumur 45 hingga 60 hari tumbuh kembang terhambat. Rekahan atau retakan tanah sawah cukup lebar, menandakan pasokan air irigasi sangat kurang.
Sriatun (52), petani Dusun Kedaleman, Desa Bugasur Kedaleman mengaku dirinya harus turun sendiri untuk mengairi tanaman padi miliknya.
“Saya kerjakan sendiri, karena jika menggunakan jasa buruh tentu biayanya lebih besar,” tuturnya sembari membetulkan selang sawah berbahan plastik.
Ia pun mengaku, sejak memulai pagi hingga menjelang tengah hari baru setengah lahan miliknya dapat dialiri air.
“Tadi mulai pagi hari menyalakan diesel, baru dapat separuh. Untuk merampungkan keseluruhan lahan, bisa dipastikan hingga malam hari,” tandasnya.
Petani lainnya, Sutrisno (52), mengaku sudah angkat tangan apabila harus terus-terusan menunggu diesel air. Terlebih, dari mulai dihentikannya pasokan air hingga saat ini tidak ada pemberitahuan.
“Yang kami sayangkan sejak dihentikannya pasokan sampai saat ini, tidak ada pemberitahuan terlebih dulu,” katanya.
Perwakilan petani di Kecamatan Gudo, Soni Setianto, Minggu, (8/10/2023) mengakui karena, kurangnya pasokan air menghambat pertumbuhan padi.
Jika dalam kondisi normal, saat ini sudah memasuki tahapan vegetatif yang ditandai tumbuhnya biji-biji padi muda.
“Tahapan saat ini jika dalam tahapan normal, padi mulai njebul (Vegetatif). Tapi seperti yang dapat kita lihat, justru pertumbuhannya terhambat,” kata pria yang juga Kepala Desa (Kades) Pesanggrahan itu.
Menurut Soni, petani di Kecamatan Gudo diberikan pilihan sulit. Yakni membiarkan tanaman padi mati, atau berusaha maksimal dengan menggunakan mesin diesel air.
Padahal, sejauh ini petani di wilayah itu telah mengeluarkan biaya uang Rp3,5 juta untuk mengaliri lahannya.
“Dari mulai tahap pra tanam hingga saat ini, petani sudah mengeluarkan biaya 3,5 juta per 100 ru atau setara dengan 1.400 meter. Untuk mempertahankan tanaman mereka tetap hidup, kini harus mengeluarkan biaya tambahan untuk diesel air,” rincinya.
Besaran biaya itu, Soni merinci, yaitu untuk 24 jam diesel air memerlukan bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp160.000,. Kemudia Irigasi buatan harus dilakukan, minimal 2 hari sekali.
“Jadi dalam satu bulan ini kami sudah mengeluarkan biaya Rp2,4 juta. Dengan catatan kebutuhan tenaga dilakukan oleh yang bersangkutan, sebab kalau menyuruh orang lain sudah tentu ada biaya tambahan lagi,” ucapnya.
Kondisi tidak adanya pasokan air sudah tentu disayangkan oleh ratusan petani. Sebab untuk Kecamatan Gudo, lumbung padi-nya ada di wilayah tersebut.
Dikhawatirkan olehnya, apabila dalam satu pekan ke depan tidak kunjung ada irigasi, dipastikan tanaman padi milik petani mati, dan terancam gagal panen.
“Sangat disayangkan jika sampai tidak ada perhatian, karena lumbung padi di Kecamatan Gudo ada di wilayah ini. Kalau sampai pekan depan tidak ada air irigasi masuk, dipastikan tanaman padi mati dan terjadi gagal panen,” kata Soni menutup. (*)
Dapatkan update berita menarik hanya di Jurnaljatim.com, Jangan lupa follow jurnaljatim.com di google news instagram serta twitter Jurnaljatim.com.