Jombang, Jurnal Jatim – Para buruh di Jombang, Jawa Timur akan mengawal proses pembahasan dan perumusan upah minimum kabupaten (UMK) 2022 hingga penetapannya. Karena mereka tidak ingin dipecundangi seperti tahun sebelumnya yang tidak ada kenaikan upah.
Penegasan tersebut diungkapkan ketua DPC Sarbumusi Jombang, Luthfi Mulyono usai melakukan pertemuan dengan Disnaker Jombang dalam aksi unjuk rasa yang diikuti seratusan buruh di kantor tersebut, Selasa (9/11/2021).
Lutfi mengungkapkan, berdasarkan Surat Edaran (SE) Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur, pembahasan dan perumusan kenaikan UMK tahun 2022 diawali tanggal 11 sampai 16 November. Dilanjutkan dengan rekomendasi Bupati ke Gubernur sampai 25 November.
“Gubernur menetapkan UMK setiap Kabupaten kota terakhir paling lambat 30 November. Nah mulai dari ini sampai nanti tanggal 30 November kami akan kawal perumusan pembahasan sampai penetapan kenaikan UMK,” ungkapnya.
Dalam pertemuan dengan Disnaker, ia mengaku sudah menyampaikan bahwa berdasarkan kenaikan upah tahun 2021, buruh merasa dipecundangi karena tidak ada kenaikan upah.
“Tahun kemarin kami dipecundangi, kami trauma karena tidak ada kenaikan UMK dan tidak ada supervisi atau kontrol dari pemerintah terkait harga sandang, pangan, papan masyarakatnya, tapi upah tidak dinaikkan,” ucapnya kecewa.
Dia melanjutkan, sebelum UMK tahun ini ditetapkan, ada beberapa permintaan. Pertama meminta diadakan verifikasi ulang kepada seluruh serikat buruh dan serikat pekerja yang ada di dalam kursi Dewan Pengupahan Kabupaten (DPKab).
“Yang keterwakilannya sah maupun tidak sah. Karena kami tidak pernah dilibatkan,” kata dia.
Yang kedua, kata Lutfi, solusi lain yakni untuk dilibatkan dalam perundingan penetapan upah. Permintaan tersebut cukup realistis karena pembahasannya tentang UMK Kabupaten.
“Betul, ada perwakilan 5 orang (DPKab), cuma mereka selalu tertutup, tidak pernah menyampaikan kepada serikat lain atau pekerja buruh di kabupaten Jombang. Hasil pembahasan maupun rumusannya hingga penetapannya bagaimana tidak pernah dikasih tau,” ujarnya.
Menurut Lutfi, selama bertahun tahun DPK, Lembaga Kerja Sama Tripartit di Kabupaten Jombang cenderung tertutup. Tidak ada komunikasi dengan pekerja buruh maupun serikat-serikat lain yang sama-sama tercatat di pemerintah.
“Sehingga kita seringkali ujug-ujug (tiba-tiba) tahu matengan (sudah jadi), seperti kemarin tidak ada kenaikan upah atau kenaikannya sekian, tapi tanpa kajian,” kata Lutfi.
Hal semacam itu, menurut dia, tidak bisa tiba-tiba. Setidaknya mengacu data dari badan pusat statistik atau BPS. Harus ada pendapatan konsumsi perkapita anggota keluarga yang bekerja dan lain-lainnya berdasar Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
“Kalau Susenas sudah keluar, maka boleh merumuskan dan menetapkan upah. (Nyatanya) tanpa itu mereka bisa menetapkan upah, nah ini kan aneh,” katanya dengan heran.
Lebih lanjut Luthfi menegaskan, pada tahun 2022 para buruh berharap ada kenaikan UMK 10 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp2.654.095,88.
“Tuntutan aksi hari ini kita tetap sesuai surat, bahwa kita meminta adanya kenaikan UMK sebesar 10 persen dari upah terdahulu, karena di 2021 tidak ada kenaikan, dan kita meminta kenaikan 10 persen,” katanya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Jombang, Priadi mengatakan, aspirasi para buruh untuk memberikan kontrol dalam bentuk pengendalian terhadap Dewan Pengupahan Kabupaten Jombang.
Permintaan buruh itu akan diskusikan dan dirapatkan yang hasil akhirnya ada pada hasil pleno, dan pleno tersebut diharapkan membawa satu angka yang disepakati di Kabupaten Jombang.
“Sepanjang, tidak berada di atas batas atas. Ingat, kita diikat oleh aturan, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 36 Tahun 2021, bahwa upah itu dihitung terlebih dahulu batas atas dan bawah. Ketika upah kita di atas batas atas, maka kabupaten tidak punya kewenangan lagi untuk merekomendasikan kenaikan upah,” ujarnya.
Dapatkan update berita menarik lainnya hanya di Jurnaljatim.com, jangan lupa follow Jurnaljatim.com di Google News.
Editor: Hafid