Jurnal Jatim – Masyarakat umum melihat sebuah pekerjaan hanya dari cover luarnya saja, contohnya polisi. Mereka mengira tugas polisi sekedar mengatur lalu lintas dan menerima laporan dari masyarakat dengan pola konvensional. Namun, ternyata masih banyak terobosan yang dimiliki oleh kepolisian untuk mendukung tugasnya, seperti contohnya adalah virtual police.
Sekarang ini pada era digital, dunia semakin berkembang dan membuat manusia untuk melakukan segala aktivitas dengan teknologi digital yang canggih dan mempermudah aktivitasnya.
Media sosial hadir dengan berbagai jenis dan berbagai keunggulan yang membuatnya digemari oleh masyarakat dalam era digital. Masyarakat sekarang ini tidak bisa lepas dari gadget dan media sosial yang meliputi Facebook, Twitter, Instagram serta WhatsApp.
Riset yang dilakukan National Chamber Foundation (2013), sekitar 75 persen generasi muda adalah technological savvy (ahli dalam teknologi) yang berarti mampu mengoperasikan teknologi informasi dengan terampil dalam hal ini adalah media sosial.
Masyarakat dapat bertukar informasi dengan siapapun di media sosial yang sama. Fitur like, share, comment, hashtag, dan explore hadir membuat media sosial selalu menyajikan informasi-informasi yang kita sukai sehingga membuat candu dalam menggunakannya.
Melalui kemudahan tersebut, berita dan informasi dapat diserap dan dibagikan secara mudah kemudian dapat tersebar luas dalam waktu yang singkat.
Kemudahan dari kecanggihan teknologi tidak sepenuhnya berdampak positif. Terdapat dampak negatif yang menjadi permasalahan di masyarakat yaitu munculnya kejahatan siber.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah membentuk UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) agar aktivitas masyarakat di dunia maya dapat berjalan dengan teratur.
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini yang bertugas sebagai penegak hukum melakukan upaya penegakan hukum semaksimal mungkin agar dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tetapi penegakan hukum yang dilakukan saat ini masih belum memberikan efek jera.
Hal tersebut dibuktikan dengan data terkait laporan polisi yang berhubungan dengan UU ITE yang cenderung ada kenaikan yaitu pada tahun 2018 ada laporan polisi sebanyak 4.360, tahun 2019 meningkat menjadi 4.586 dan tahun 2020 meningkat kembali sebanyak 4.790.
Oleh karena itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia meluncurkan Virtual Police untuk mengatasi penyebaran konten atau unggahan di media sosial yang melanggar UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya berita palsu (hoaks) serta ujaran kebencian agar pelanggaran UU ITE berkurang.
Bareskrim Polri secara resmi telah meluncurkan Virtual Police untuk mencegah dan mengurangi tindak pidana pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dalam dunia siber di Indonesia, pada Kamis, 25 Februari 2021.
Peluncuran tersebut berdasarkan Surat Edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Virtual Police dimaksudkan untuk mencegah tindak pidana UU ITE.
Kehadiran polisi di ruang digital tersebut merupakan upaya Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat atau Kamtibmas agar dunia siber dapat berjalan dengan bersih, sehat dan produktif. Selain itu juga untuk mengurangi konten-konten hoaks di media sosial, sehingga masyarakat pengguna internet juga lebih berhati-hati.
Virtual Police akan melakukan patroli siber di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram serta WhatsApp untuk mengawasi akun-akun yang terindikasi mengandung konten hoaks dan hasutan di berbagai platform itu.
Selain itu, pengguna media sosial juga dapat melaporkan tindakan UU ITE tersebut melalui laman resmi Patroli Siber di patrolisiber.id.
Saat ditemukan adanya akun yang terindikasi melakukan pelanggaran UU ITE, setelah melakukan kajian bersama ahli dan memang terindikasi adanya pelanggaran, nantinya tim patroli siber akan memberikan peringatan kepada akun tersebut melalui pesan atau direct message.
Adapun sejumlah ahli yang dilibatkan dalam kajian tersebut yakni ahli bahasa, ahli pidana, serta ahli ITE. Upaya melibatkan sejumlah ahli tersebut untuk mengurangi subjektivitas polisi saat menindak akun yang terindikasi memuat konten yang melanggar UU ITE.
Dalam peringatan tersebut berisi pesan agar pemilik akun menghapus konten yang berpotensi melanggar pidana dalam waktu 1×24.
Jika pemilik akun mengabaikan peringatan tersebut, tim polisi siber ini akan kembali mengirimkan peringatan untuk kedua kalinya dan apabila masih tidak mengindahkan, maka pemilik akun akan dipanggil untuk diklarifikasi.
Namun, tidak semua pelanggaran di dunia maya yang terjaring patroli siber berakhir pada tindakan pidana, Virtual Police mengupayakan lebih mengedepankan mediasi dan restorative justice.
Upaya itu diterapkan dalam delik Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengedepankan proses dialog dan mediasi antara korban dan pelaku.
Sebab, hal itu, mengetengahkan delik aduan. Yang mana, hanya korban yang boleh membuat laporan kepolisian pada kasus ujaran kebencian, hoaks maupun penghasutan SARA di dunia maya. Mediasi kemudian didudukkan sebagai solusi setelah laporan kepolisian dibuat.
Artinya, Polri mengetengahkan penyelesaian win-win solution pada perkara antara korban dan pelaku. Upaya ini membawa babak baru kejahatan siber atau kejahatan terkait komputer berbasis SARA.
Dilansir pada jawapos.com, data Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menunjukkan pelaksanaan Peringatan Virtual Polisi dalam kurun waktu 23 Februari hingga 4 Mei 2021 telah mengajukan 419 konten yang berpotensi mengandung ujaran kebencian berdasarkan SARA yang berpotensi melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE.
Virtual police merupakan suatu penerapan program kepolisian yang sedang dikembangkan pada era digital saat ini yang meningkatkan kualitas daripada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mengemban tugas dalam bidangnya.
Virtual police juga dapat menjadi sebuah solusi untuk memberikan sarana kontrol kepada masyarakat dengan mengatur volume penyebaran kejahatan virtual yang disebarkan melalui media social. Virtual police diharapkan mampu meminimalisir kejahatan siber di Indonesia.
Langkah kedepannya pihak kepolisian dapat bekerja sama dengan instansi – instansi pendukung seperti telekomunikasi dan beberapa pihak dari Kominfo yang mana dalam hal ini bertujuan agar kedepannya dalam pengolahan tugas Virtual Police dapat terselenggara dengan maksimal dan juga pihak kepolisian juga wajib untuk memenuhi kapabilitas dari bidang teknologi informasi tersebut untuk mencapai hasil yang maksimal.
Penulis: Fajrul Falah
Pangkat : Brigadir Taruna
No. Ak : 18.162
Batalyon : 53/Arkana Satriadharma
Dapatkan update berita menarik lainnya hanya di Jurnaljatim.com, jangan lupa follow Jurnaljatim.com di Google News.