Surabaya, Jurnal Jatim – Tega, seorang ibu asal Banyuwangi digugat anak kandung terkait warisan. Yaitu Megawati Purnamasari (78) yang digugat anaknya Slamet Utomo.
Dirinya tak mengira anak kandungnya, menggugatnya terkait objek rumah sekaligus tempat usaha dealer motor atas namanya. Bahkan, wanita renta itu tak tahu apa alasan dirinya digugat.
Menurut Survita Hendrayanto, kuasa hukum Megawati mengatakan bahwa kasus kliennya saat ini adalah permasalahan keluarga.
“Ini sebetulnya masalah keluarga. Tetapi saya melihat ada settingan dalam pelaksanaan proses hukumnya,” tutur Survita saat ditemui pada Rabu (10/5).
Bukan tanpa sebab pria yang akrab dipanggil Hendra itu mengatakan hal tersebut. Sebab dua gugatan yang dilayangkan oleh Slamet Utomo dilakukan dalam waktu bersamaan. Pertama dengan nomor perkara : 184/Pdt.G/Pdt/2022, dan kedua dengan nomor perkara : 240/G/2022/PTUN.
“Jadi, pertama klien kami digugat di Pengadilan Negeri Banyuwangi. Setelah itu, digugat kembali di Pengadilan Tata Usaha Negara. Kan aneh, seharusnya kalau sudah ada gugatan di pengadilan negeri, harus ditolak gugatannya di PTUN. Harus menunggu gugatannya inkracht. Ini cacat formil,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hendra membeberkan bahwa selama persidangan kliennya tersebut tidak pernah dipertemukan oleh penggugat (Slamet Utomo) saat mediasi.
“Anehnya lagi, Ibu Mega ini tidak pernah dipertemukan baik selama persidangan ataupun mediasi. Klien saya ini mama kandungnya sendiri, bukan orang lain. Kenapa kok ga dipertemukan,” lanjutnya.
Kemudian Hendra menerangkan, kliennya tersebut memiliki tiga orang anak. Mereka yaitu Slamet Utomo, Sri Rahayu, dan Herry Sugiharto. Dan ketiganya telah menerima pembagian warisan dealer motor berupa anak cabang.
“Objek berupa dealer yang digugat ini awalnya atas nama almarhum suami dari klien kami (sujianto). Kemudian ketiga anaknya ini sepakat dibalik nama atas nama Ibu Mega dan dinotariilkan. Karena semua anaknya sudah menerima bagiannya masing-masing,” terangnya.
Namun, sambung Hendra, di persidangan pihak penggugat malah membalikkan fakta jika penandatanganan kesepakatan tersebut Slamet utomo berada dalam tekanan. “Dibalik semua faktanya. Katanya penggugat dalam tekanan waktu tanda tangan tersebut,” imbuhnya.
Hendra berharap, agar masyarakat dapat ikut memperhatikan dan mengamati kasus yang ditanganinya ini. Sebab, disinyalir perkara kliennya tersebut terdapat banyak pertimbangan yang menabrak semua aturan hukum.
“Kami mengharapkan MA RI, Komisi Yudisial, dan lembaga pengawas kehakiman memberikan perhatian khusus terhadap perkara ini,” katanya.
Sementara itu, Megawati menyampaikan bahwa dirinya tidak mengerti kenapa anaknya menggugat dirinya.
“Apa salah saya sampai digugat. Padahal dia (Slamet) sudah dikasih dealer. Berkembang, sudah bisa beli rumah di Bali. Saya mengucap syukur dia sudah kaya. Kok masih ingin minta warisan yang ditinggalkan suami saya. Dia (Slamet) tidak pernah memberi saya uang untuk berobat, makan. Darimana saya membayar biaya berobat kalau tidak dari dealer yang saya rintis bersama suami saya,” ucapnya.
Sedangkan Herry Sugiharto mengatakan jika kakaknya (Slamet) saat ini sedang mengalami stroke. Lalu dia mengaku jika ibunya pernah dipaksa bertemu oleh istri dari kakaknya tersebut.
“Malah yang mau nemuin itu istrinya LC, anaknya, sama mantunya. Memaksa bertemu mama saya. Dan sekarang usaha dealer atas nama mama saya itu berhenti 2 tahun. Gara-gara dilaporkan sama istrinya itu ke pusat. Pusat tidak mau kalau masih ada sengketa di dealer,” ungkapnya.
Jika mau diamati secara lengkap proses perkara ini secara runtut dari gugatan awal di Pengadilan Negeri Banyuwangi, masih banyak cacat formil dan hakim seharusnya memutus gugatan ini tidak bisa diterima.
Cacat formil yang paling fatal pada surat kuasa penggugat, saat mediasi yang mana pihak penggugat tidak mau hadir tanpa alasan yg dibenarkan hukum, cacat formil seperti ini seharusnya majelis hakim memutus untuk tidak menerima gugatan ini atau istilahnya di NO [Niet on Rigth matigverklard].
Syarat formil dalam perkara perdata itu rohnya hukum acara. Ketika cacat tidak bisa dilanjut pemeriksaan selanjutnya ke pokok perkara. Kemudian dalam putusan di PTUN surabaya juga demikian eksepsi yang diajukan oleh kuasa hukum pihak tergugat awal dari yaitu tim hukum kantor “Barometer Hukum Indonesia” law firm Banyuwangi.
Diantara putusan PTUN sangat menciderai hukum, diantaranya 1. Pertimbangan menggunakan dasar Undang undang atau aturan yang sudah tidak diberlakukan, perkara ini masih ditangani atau diajukan pemeriksaan di peradilan Umum dan juga belum inckrah masih ada upaya hukum lanjutan.
“PTUN majelis hakimnya seharusnya tidak menerima gugatan ini. Biar selesai dulu sengketa keperdataanya, supaya tidak terjadi benturan hukum yg berbeda antara dua lembaga peradilan. Dan itu jelas ada aturan dan yurisprodensinya. Tapi aneh juga PTUN berani memutus perkara ini. Dengan pertimbangan yang sangat kurang cermat dan tendensius,” katanya.
Ia menyebut, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Tidak cermat dan Teliti dalam menilai fakta persidangan dalam perkara ini.
Sebab, obyek sengketa dalam perkara a quo masih berstatus sengketa hak di Pengadilan Negeri Banyuwangi, dan saat ini masih dalam upaya hukum Banding belum inkracht, dan masih ada upaya-upaya hukum lagi berupa Kasasi dan PK.
Sedangkan Putusan PTUN ini akan berakibat kekacauan hukum jika pada akhirnya sengketa di Peradilan Umum ini saling bertentangan isi putusannya. Hal ini juga mengabaikan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 88.K/TUN/1993 tanggal 9-9-1994.
Pertimbangan dalam Putusan seakan-akan Penggugat telah mengajukan blokir sebelum Gugatan padahal, blokir diajukan setelah Gugatan bukan sebelum Gugatan.
Pertimbangan dalam Putusan seakan-akan pihak Badan Pertanahan Nasional sudah mengetahui dan terlibat dalam perkara Perdata di Pengadilan Negeri, padahal Pihak Badan Pertanahan Nasional tidak pernah dilibatkan dalam Gugatan Perdata.
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya telah salah dalam menerapkan hukum sebab menggunakan Dasar Hukum yang sudah dinyatakan dicabut.
“Kaitan bahwa perkara ini masih di ranah peradilan umum harus diselesaikan dulu sampai inkrah supaya ada kepastian hukumnya, selanjutnya jika dalam pelaksanaan menjalankan putusan ada kaitan dengan Keputusan tata usaha negara bisa digugat di PTUN Surabaya. Kenapa demikian supaya tidak tumpang tindih, supaya tidak rancu dalam proses beracaranya,” tegasnya.
“Untuk itu kami mengharap sebagai kuasa lanjutan agar Mahkamah Agung, Komisi yudicial, Hakim Pengawas, lembaga pemerhati hukum, praktisi hukum untuk ikut memperhatikan proses peradilan ini hingga selesai. Karena persidangannya bersifat terbuka, jangan sampai putusan putusan di paksakan dikondisikan dan menabrak semua aturan hukum,” imbuh Hendra sebagai tim kuasa hukumnya.
Dapatkan update berita menarik hanya di Jurnaljatim.com, Jangan lupa follow jurnaljatim.com di google news instagram serta twitter Jurnaljatim.com