Jombang, Jurnal Jatim – Pemohon praperadilan MSA, anak kiai Jombang, Jawa Timur, menghadirkan dua orang saksi ahli untuk memberikan keterangan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jombang, Selasa (25/1/2022).
Dua pakar hukum dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan keterangan pendapat terkait keabsahan penetapan MSA sebagai tersangka kasus dugaan pencabulan atau kekerasan seksual terhadap santriwatinya.
Adapun dua saksi ahli yang ditampilkan dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal hakim tunggal Dodik Setyo Wijayanto itu yaitu pakar hukum tata negara dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta DR King Faisal Sulaiman dan pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Jakarta, Prof DR, Suparjo Ahmad.
King Faisal dalam keterangannya di persidangan memberikan keterangan tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.
Ia menyebut dalam putusan MK PUU nomor 21 tahun 2014 itu, penetapan tersangka dalam hukum acara pidana harus berdasarkan minimal 2 alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangka.
Faisal juga menyebut, bahwa penyidik dalam menetapkan tersangka harus ekstra hati-hati. Karena jika tidak hati-hati, serta tidak patuh pada hukum acara pidana yang berlaku, maka rawan terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik.
“Penetapan tersangka pada seseorang tidak boleh melanggar hak asasi seseorang sebagai warga negara di hadapan hukum,” katanya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, King Faisal berpandangan penetapan MSA tidak sah karena yang bersangkutan tidak pernah diperiksa.
Lalu,
Namun, di dalam persidangan itu, Hakim bertanya pendapat saksi ahli ketika ada seseorang sudah dipanggil secara sah dan secara patut, tapi tidak hadir di dalam proses pemanggilan itu, sehingga penyidik tidak dapat melakukan pemeriksaan kepada yang bersangkutan, misalnya yang bersangkutan dianggap calon tersangka sekalipun, apakah yang harus dilakukan penyidik secara hukum?
Dan apakah apabila penyidik sudah memanggil tapi tidak datang dan dia dianggap tidak mau diperiksa kemudian tetap ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan sudah ada dua alat bukti yang cukup, penyidik penetapan tersangka itu tetap boleh?.
“Kalau kasusnya demikian yang mulia, maka menurut pendapat ahli tentu kalau kepatutan prosesnya sudah dipatuhi oleh penyidik, maka sudah dimungkinkan untuk ditetapkan (sebagai tersangka),” sebutnya yang menjawab pertanyaan hakim.
Hal itu menepis bahwa kuasa hukum pemohon menyebut pihak Kesaksian ini berbalik dengan pernyataan pihak MSA. Mereka menyebut MSA tak pernah mendapatkan panggilan untuk diperiksa sehingga tak layak jadi tersangka. Asumsi ini pula yang menjadi salah satu dasar diajukannya praperadilan oleh pihak MSA.
Pada kesempatan tersebut, hakim juga menanyakan pendapat ahli tentang ketentuan di pasal mana di dalam KUHP setelah adanya putusan MK yang mencantumkan kewajiban pemeriksaan calon tersangka?
“Sesuai pengetahuan ahli tidak ada sama sekali,” katanya.
Sementara itu, Suparjo Ahmad, dalam persidangan memberikan penjelasan tentang keabsahan alat bukti dari penetapan tersangka MSA. Suparjo berpandangan, proses hukum dalam mewujudkan keadilan harus memperhatikan nilai hak asasi manusia.
Untuk itu proses hukum harus berjalan prosedural dan proporsional. Mengingat dalam proses hukum sudah jelas bagaimana mekanisme hukum acara pidana.
“Demikian pula sebagaimana ketentuan-ketentuan yang lain misalnya dalam konteks putusan MK nomor 21 tahun 2014 bahwa untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka harus terlebih dahulu dilalui pemeriksaan calon tersangka,” katanya.
Setelah mendengar keteranga kedua pakar hukum, sidang ditutup majelis hakim. Sidang ditunda untuk dilanjutkan Rabu (26/1/2022) dengan agenda penyampaian kesimpulan. Sebab, pihak termohon tidak menghadirkan saksi mata maupun ahli dalam persidangan itu.
Hakim menyampaikan, dengan telah mendahului proses pembuktian, para pemohon dan termohon sudah menghadirkan surat maupun saksi maupun, ahli maka proses pemeriksaan selesai.
“Seanjutnya sesuai dengan permintaan para pemohon dan termohon ingin mengajukan kesimpulan, maka sidang ini akan ditunda besok Hari Rabu 26 Januari 2022 pukul 14.00 dengan agenda penyampaian kesimpulan dan akan dilanjutkan kembali pada hari Kamis pukul 14.00 dengan agenda pengucapan putusan dari hakim,” kata Hakim.
Gugatan praperadilan MSA anak kiai pengasuh pesantren di Jombang dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jombang, pada 6 Januari 2022. Gugatan tersebut terdaftar dalam sistem informasi penelusuran perkara Pengadilan Negeri Jombang nomor 1/pid.pra/2022/pn jbg tanggal register 06 Januari 2022 dengan klarifikasi perkara, sah atau tidaknya penetapan tersangka.
Adapun termohon dalam gugata itu adalah Kepala Kepolisia Resor Jombang Cq Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jombang, Kepala Kejaksaan Negeri Jombang, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Cq Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim dan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Cq Asisten Pidana Umum Kejati Jatim
Gugatan praperadian yang dilakukan MSA itu merupakan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya upaya hukum tersebut ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur.
MSA adalah anak kiai pengasuh Pesantren Shiddiqiyah, Ploso, Jombang. Ia dilaporkan ke polisi pada 29 Oktober 2019 oleh korban yang berinisial NA salah seorang santri perempuan asal Jawa Tengah.
Pada 12 November 2019, Polres Jombang mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan. MSA dijerat dengan pasal berlapis yakni tentang pemerkosaan dan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur.
Dapatkan update berita menarik lainnya hanya di Jurnaljatim.com, jangan lupa follow jurnaljatim.com di Google News.
Editor: Hafid