Surabaya, Jurnal Jatim -Peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April identik dirayakan para kaum hawa dengan merefleksikan perjuangan Kartini di masa hidupnya.
Setiap perempuan memiliki perjuangan hidupnya masing-masing. Perjuangan hak mendapatkan pendidikan layak, karier cemerlang, hobi yang digeluti, mendampingi anak dan keluarga, hingga tentang kebahagiaan diri sendiri.
Begitupun juga yang dilakukan tiga orang ibu-ibu ini. Yakni Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti. Mereka sedang berjuang di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melegalkan ganja demi pelayanan kesehatan.
Tiga ibu asal Yogyakarta tersebut tengah berjuang melakukan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I tentang ganja untuk pelayanan kesehatan.
Bukan lantaran ingin nge-fly seperti istilah mabuk untuk para pemadat. Tetapi mereka tengah memperjuangkan pengobatan untuk sang anak yang sedang menderita penyakit cerebral palsy.
Penyakit itu diketahui sebagai penyakit lumpuh otak yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh.
“Permohonan ini diajukan oleh tiga orang Ibu dari anak-anak yang menderita Cerebral Palsy yang menginginkan adanya pengobatan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja) sebagaimana sudah banyak berkembang di dunia,” kata kuasa hukum pemohon, Singgih Tomi Gumilang, Rabu (21/4/2021).
Ia menyebut, sidang itu membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh kuasa para pemohon pada Desember 2020.
Yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.
Berawal dari Musa
Menurut Singgih, tim kuasa pemohon juga menyampaikan beberapa perkembangan terkait perkara itu. Salah satunya yakni berita duka dari pemohon Dwi Pertiwi yang kehilangan puteranya, Musa IBN Hassan Pedersen atau yang sering dipanggil Musa.
Musa meninggal dunia 26 Desember 2020 setelah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi Cerebral Palsy.
Cerita Musa itu menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materil UU Narkotika yang diinisiasi oleh Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pada 19 November 2020.
Selain itu, sebagai bagian dari perbaikan permohonan tim kuasa pemohon juga menyampaikan perkembangan dari PBB yang telah mengubah sistem penggolongan narkotika dengan memperkuat posisi penggunaan narkotika Golongan I yakni ganja untuk kepentingan medis.
“Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) melalui pemungutan suara/voting telah menyetujui rekomendasi WHO untuk menghapus cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Konsekuensinya, ganja tidak lagi dipersamakan dengan jenis narkotika,” tandasnya.
Hal itu pun diakuinya memperkuat pengakuan dari dunia internasional akan manfaat kesehatan dari tanaman ganja yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.
Dia dan koalisi yang terdiri dari elemen Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN ini berharap, dengan adanya perkembangan di atas dapat semakin memperkuat keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi bahwa isu ini sangat relevan untuk mendapatkan perhatian. Sehingga persidangan dapat berlanjut ke proses pembuktian.
“Harapan para pemohon dalam perkara ini supaya apa yang terjadi pada Musa tidak terjadi pada anak-anak Indonesia yang lain. Untuk itu, koalisi mendesak agar Pemerintah dan DPR segera bergerak cepat untuk menyikapi perkembangan dari PBB terkait potensi penggunaan Narkotika Golongan 1 yakni ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan,” ujarnya.
Ia menegaskan, sebagai negara anggota, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia bersikap. Secara politis Indonesia diakuinya harus mau mengakui dan mengikuti perubahan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut sebagai rujukan Undang-undang Narkotika.
Editor: Azriel