PN Surabaya Siapkan Eksekusi Pengurus Gereja Bethany Indonesia

SURABAYA () – Konflik perebutan pengurus (GBI) di Surabaya kian memanas. Setelah sempat gagal melakukan pada Juli 2017 lalu, salah satu pihak yang memenangkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya berencana kembali melakukan upaya eksekusi untuk kedua kalinya.

Upaya eksekusi terhadap pengurus gereja terbesar di Indonesia terungkap dalam surat bernomor W14-U1/14916/Hk.01/10/2019, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dalam surat tersebut bakal digelar Rapat Kordinasi (rakor) menindaklanjuti eksekusi kepengurusan Gereja Bethany Indonesia (GBI), Jalan Nginden Intan Timur I/29 Surabaya.

Surat itu ditandatangani oleh panitera , Djamaluddin sejak 23 Oktober 2019 lalu. Tertera dalam surat, sebagai terundang ada nama Kapolrestabes Surabaya dan Kapolsek Sukolilo Surabaya, sebagai institusi yang berperan sebagai back up keamanan pelaksanaan eksekusi nantinya.

Sedangkan, eksekusi terhadap pengambil alihan kewenangan Majelis Pekerja Sinode (MPS) ini berdasarkan penetapan Ketua PN Surabaya bernomor 82/EKS/2016/PN. jo Nomor 928/Pdt.G/2013/PN.Sby.

Juru bicara PN Surabaya, Martin Ginting membenarkan adanya jadwal rakor tersebut. Menurutnya, rakor merupakan tahapan normal yang harus dilakukan sebelum pelaksanaan agenda eksekusi.

“Benar, besok (Selasa, 12/11/2019) bakal digelar rapat kordinasi guna menindaklanjuti eksekusi yang sebelumnya sudah dikeluarkan penetapannya oleh Ketua PN. Dan itu (rakor) merupakan tahapan normal dilakukan sebelum dilakukannya setiap pelaksanaan eksekusi,” ujar Martin Ginting, Senin (11/11/2019).

Terpisah, Hanapie, kuasa hukum pendeta Leonard Limato, pendiri Sinode Gereja Bethany Indonesia juga membenarkan adanya agenda rakor tersebut.

“Betul..kok ..? Besok kita diundang PN Surabaya untuk rakor persiapan menjelang tindak lanjut eksekusi kepengurusan MPS GBI,” ujarnya.

Masih Hanapie, sebenarnya eksekusi sudah dijadwalkan sejak 2017 lalu. Namun gagal dilaksanakan oleh juru sita PN Surabaya. Gagalnya eksekusi tersebut dikarenakan adanya perlawanan jemaat akibat kurangnya komunikasi yang dibangun antara pengurus Sinode kepada jemaat GBI Nginden terkait mekanisme eksekusi ini.

“Jadi saat itu (2017), jemaat beranggapan bahwa yang bakal dieksekusi adalah fisik gerejanya, padahal itu tidak benar. Yang dieksekusi adalah kepengurusannya, dari pengurus lama diganti pengurus yang sah berdasarkan putusan pengadilan bernomor 928/Pdt.G/2013/PN.Sby. Jadi, meskipun pelaksanaan eksekusi ini berhasil dilaksanakan, jemaat masih bisa beribadah dan tidak menghilangkan fungsi gereja,” terangnya.

Untuk diketahui, polemik kepengurusan Majelis Pekerja Sinode GBI Nginden ini berawal dari adanya gugatan yang diajukan pendeta Leonard Limato terhadap pendeta Abraham Alex Tanuseputra, yang berujung perdamaian.

“Pada intinya isi perdamaian itu menyatakan bahwa membatalkan semua produk dari akte perubahan versi Abraham Alex, termasuk pengangkatan anaknya sendiri Aswin Tanu Seputro sebagai ketua Sinode,” terang Hanapie.

Sinode GBI didirikan oleh pendeta Leonard Limato pada 2002. Setahun selanjutnya, 2003, pendeta Abraham Alex masuk kedalam kepengurusan Sinode, dan menjabat sebagai ketua masa 2003 hingga 2007.

Berdasarkan dasar organisasi, setiap 4 tahun sekali, harus diadakan sidang raya guna menentukan kepengurusan Sinode yang baru.

“Namun, Abraham Alex mengangkat dirinya sebagai penguasa yang absolut, dan mengangkat anaknya sendiri Aswin Tanu Seputro sebagai ketua sinode dengan menganti akta pendirian versi Abraham Alex ke , dan disebut sebagai akta perubahan. Akta perubahan itu melalui proses hukum di pengadilan akhirnya dinyatakan batal dan harus dieksekusi,” tambahnya. (Yoh)


Editor: Z. Arifin