Surabaya, Jurnal Jatim – Keberadaan mafia tanah dianggap cukup meresahkan masyarakat. Sebab, mafia tanah kerap menyebabkan kesengsaraan masyarakat dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Prolog kesimpulan itu merupakan hasil diskusi atau Focus Group Discussion (FGD) tentang Mafia Tanah, dipandu oleh Albert Kuhon mantan wartawan senior Media Suara Pembaruan.
Dalam FGD itu hadir sejumlah pembicara di antaranya Profesor (Prof) Dr. Hotman M. Siahaan, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga; Dr. Ronsen Pasaribu mantan Direktur Konflik Badan Pertanahan Nasional, G.A. Guritno Direktur PT. Gatra Multimedia Utama, serta wartawan senior di Surabaya, Lugas Wicaksono dan Jaka Wijaya.
FGD Mafia Tanah diselenggarakan untuk menjawab keresahan akan maraknya persekongkolan jahat sekelompok mafia tanah yang mengangkangi hak pemilik tanah yang sah di wilayah Surabaya.
Ada indikasi sekelompok ahli hukum dan pemodal yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memperalat warga dan merebut lahan secara licik dari pemiliknya yang sah.
Modus operandi mafia tanah ini mencakup pembuatan surat keterangan palsu melalui kerja sama dengan aparat kelurahan, kemudian menggunakan surat-surat palsu tersebut di pengadilan, hingga merekayasa kasus untuk merampas hak atas tanah dari pemiliknya yang membeli secara sah.
Dalam kesempatan itu, Profesor Hotman Siahaan menegaskan banyak kekerasan agraria mengalami kebuntuan di Indonesia. Bentuk kolusi berbagai pihak yang terdiri dari penjahat, pemilik modal, perangkat hukum, penguasa, dan pihak lain seringkali bersikukuh menggunakan peraturan hukum yang melahirkan kekerasan agraria.
“Dalam berbagai sengketa, hasil kolusi komplotan mafia tanah sering mengakibatkan pertarungan yang tidak seimbang antara kekuatan hukum dengan kalangan masyarakat atau rakyat yang membeli tanahnya melalui proses yang benar dan dengan itikad baik,” kata Hotman Siahaan.
Sementara itu, dalam penelusurannya selama mendalami kasus-kasus sengketa tanah di Surabaya sebagai wartawan di Jawa Pos, Lugas Wicaksono memaparkan banyaknya indikasi mafia tanah memanfaatkan celah hukum dan pencatatan tanah yang masih belum rapi untuk menguasai tanah secara sistematis, rapi, dan terencana.
Modus yang digunakan mulai dari memalsukan surat-surat tanah untuk menjual lahan milik orang lain, kemudian menggugat pemilik tanah, hingga indikasi kongkalikong dengan aparat hukum sehingga mendapat pengesahan dengan menang di pengadilan. Akibatnya, pemilik sah pun bisa ditelikung.
“Mafia tanah bahkan bisa membuat pemilik tanah yang sah, pembeli beritikad baik, membayar pajak, dan bahkan sudah memiliki sertifikat tanah bisa kehilangan haknya hanya karena gugatan orang yang mengaku sebagai ahli waris tanah yang memegang petok D. Pemegang sertifikat bisa kalah dengan pemegang petok D, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambah Jaka menimpali.
Diskusi itu diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk memberantas mafia tanah dan menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan transparan di Indonesia.
Dapatkan update berita menarik hanya di Jurnaljatim.com, jangan lupa follow jurnaljatim.com di google news instagram serta twitter Jurnaljatim.com.