Gali Lubang Buka Lubang

Oleh : Fredi Prasetyo
Genderang pembangunan telah ditabuh oleh pemerintah sejak Indonesia keluar dari krisis besar (great crisis) ekonomi 1998. Memicu terjadinya pembangunan infrastruktur diberbagai lini, baik berupa jalan, gedung-gedung pencakar langit, , jembatan, pusat-, bahkan sampai fasilitas gedung pemerintahan di tingkat bersolek dengan gedung yang semakin berwibawa.
Kondisi tersebut diatas tentu saja punya konsekuensi logis dimana pengerukan (eksplorasi) besar-besaran terhadap pasir dan batu atau istilah di lingkungan proyek disebut Galian Sirtu semakin gencar dilakukan. Tentu ancaman atas kerusakan lingkungan tidak dapat dihindarkan. Disana sini akan muncul lubang-lubang bekas galian, istilahnya tidak lagi “gali lubang tutup lubang”, tapi yang ada “gali lubang buka lubang”.
Terbaru dalam beberapa bulan terakhir diwilayah kabupaten Nganjuk meningkat permintaan untuk pengadaan pasir dan tanah uruk proyek pembangunan double trek lintasan kereta api dan kompleks perumahan. Daerah sepanjang kecamatan Ngronggot, Jatikalen, Lengkong, Baron, Gondang, Bagor, dan Sukomoro banyak kita jumpai aktivitas pengerukan yang menggunakan alat berat beko serta sejumlah kendaraan dum truck sebagai sarana angkut material galian.
Memang jika dilihat tidak ada yang aneh atau biasa saja aktivitas tersebut dilakukan karena semangat pembangunan yang diprogandakan secara masif oleh pemerintah. Tapi, jika dicermati lebih dalam ternyata semua aktivitas galian tersebut diduga tidak dibekali dengan ijin. Buktinya razia yang dilakukan oleh jajaran penegak hukum di Nganjuk beberapa kali melakukan razia dan mendapatkan tangkapan, diantaranya di daerah Desa Trayan, Kecamatan Ngronggot, Desa Lumpang Kuwik, Kecamatan Jatikalen; Desa Ngudikan, Kecamatan Jatikalen dan di Desa Kelutan, Kecamatan Ngronggot.
Dalam setiap operasi tersebut, selain mengamankan pemilik galian dan galian, aparat gabungan juga menyita sejumlah mesin berat seperti becho dan juga sejumlah kendaraan dum truck. Tentu saja ada tindakan penutupan galian tersebut, meskipun hal tersebut terkadang hanya formalitas saja. Tidak lama setelah itu aktivitas galian bergeliat lagi mengeruk pundi-pundi uang. 
Sekali lagi bukan “gali lubang tutup lubang”, tapi “gali lubang buka lubang”.
Sepengetahuan saya yang masih dangkal sebuah aktivitas galian, termasuk Galian C merupakan usaha penambangan pasir, kerikil dan tanah liat. Pengurusan izinnya dilakukan di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T). Izin galian C tersebut hanya berlaku selama enam bulan, setelah itu wajib diperbaharui.
Selain itu, ketika memulai sebuah galian seorang yang mendapatkan tender dan akan melakukan aktivitas galian harus membayar sejumlah kompensasi atau istilahnya uang panjer kepada pemerintah daerah. Uang panjer tersebut yang nantinya digunakan sebagai biaya perbaikan sejumlah sarana jalan akibat hilir mudik kendaraan proyek. Dalam proses galian setiap kubik material yang diambil dikenakan retribusi sebagai pengganti pajak dan terakhir setiap pengusaha tambang harus melakukan kembali, agar lubang bekas galian bisa ditutup kembali.
Kontrol atas galian pasir, tanah dan batu penting untuk dilakukan oleh masyarakat. Pasalnya aktivitas tersebut rentan dengan dampak negatif, terutama terhadap lingkungan seperti krisis air bersih, alih fungsi lahan yang tidak produktif, sedimensi , sampai jatuhnya korban jiwa akibat lubang bekas galian yang menganga.
Namun sayang dari sorotan terhadap kontrol galian di kabupaten Nganjuk, tidak didukung dengan aturan pemerintah daerah. Sampai detik ini kabupaten Nganjuk belum memiliki peraturan daerah yang menjadi pijakan setiap aktivitas galian. Siap-siap saja warga Nganjuk menyaksikan banyaknya lubang bekas galian C, jalanan rusak akibat beban kendaraan angkut galian, dan berita jatuhnya korban jiwa yang terperosok dalam lubang, karena tampaknya pemerintah daerah Nganjuk lebih suka “Gali Lubang Buka Lubang”.
Penulis : Aktivis Agra dan Mantan Wartawan Memorandum Biro Madiun Raya.
No tags for this post.

Related Posts

Komentar